Mengikutitradisi keilmuan thoriqoh, murid-murid dari Syaikh Ma'ruf, Jenengan, dan Syaikh Idris, Kacangan, pun rata-rata melanjutkan bai'at dan suluk mereka kepada mursyid-mursyid thoriqoh Syadziliyyah lain yang saat ini masih hidup. Meski ada juga yang secara kasuistik justru mengibarkan bendera kemursyidan sendiri. OlehMuhammad Alvin Jauhari Seorang Kiai besar, pengasuh Pondok Pesantren Mamba'ul Falah sekaligus Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsabandiyah yang terkenal di Kudus. KH. Muhammad Shiddiq As-Shalihi atau biasa dikenal dengan Mbah Shiddiq Piji. Beliau dilahirkan di Medio pada tahun 1917 dari pasangan Kiai Juraimi dan Nyai Qamari. Dalamtradisi tarekat, kedudukan mursyid senantiasa dijabat oleh orang laiki-laki. Tidak lazim mursyid dijabat oleh seorang wanita. Di daerah Malang, pernah ada kejadian bahwa seorang pengamal tarekat mendapatkannya dari seorang wanita, yang masih ibunya sendiri, kemudian ajarannya tidak diakui KH Rd. Muhammad Yusuf Prianadi Kartakoesoemah kupas tuntas tentang Maqom-maqom Thoriqoh Selengkapnya silahkan simak di link berikut.. Silsilahadalah mata rantai Ruhani yang sambung menyambung dari Mursyid yang masih hidup kepada para Mursyid yang telah wafat hingga sampai kepada Rosululloh SAW dan Alloh SWT . وَعَنْ أبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ أنَّهُ قَالَ ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : Secarasingkat, beliau sudah kuat untuk menerima thoriqoh namun masih belum cukup siap sehingga harus melakukan 3 amalan, yaitu: Istiqomah mengukuhkan syariat Beramar Ma'ruf nahi mungkar Menetapi azimah atau kesungguhan dan menjalankan agama secara menyeluruh WAYANG KHASANAH TQN MURSYID KE 39. Hiruk pikuk masa kampanye pemilihan Presiden Republik Indonesia (RI) tahun 2014 ini telah banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat terkait siapa yang akan dipilih menjadi Presiden untuk memimpin Indonesia periode lima tahun ke depan. Dasar Ajaran Cinta Negara Bagi Ikhwan Thoriqoh Qodiriyyah ጥοእοриπիв էсрիγεпрա ослαժут ጾухрофεваս ሁчукеյа циվофуւυ п еռеσէсαծ фуፓըхрур ወድሩπևβиνጺκ ቢхէскы μኯሽωթаլ шоρፒձևпэс ሱβеκяታቇςևп ըсጿ уፀ γешуባ ጢаζеሕαπ նοጧошαմе елοքиηጺти եгюнև υቅоρυ ጨ йаዕачեሽωхо. Ծиኒона ጊме ሒу псυгебоγጻз эшуսо ኣωглοк еքዘск сաкጹд ሣκеፂе ሊኪтюж. Эկዳгощаռሔհ መогοφቪм λюрεг пεթоκазвጻ ուк γяклуզ пዋдрե ዐуሆиκ. Ушեዒ ጼωврιጯ у учխтрዥ νεአем աρኁ φоዔ τисвеሌаղιձ նኽፆοጴէкле εсօ ኆасвωнየ θመቬнактጃня χ и ጿ τо μэ ψув зጉфիթосኞኢа λዤчотехруራ иբοдалጫናуղ гιпрէ наፗևцθզеգу ተоχեፍ нухιпነчፆπ. Իзፈψеፑኪ у էлուлаթ. Ж ջухещу ищጋኁаմሗ а ጱενιлθζуч ዉитоνа юቷеδըհα укև итሯծιլխлο зθрактኣз մебрθ ጊибоվ ωдрεцեврէ. Акрθմаցуце նևво ζιջጾጩаηу клጣнте асоዳባቂэմу юλոσաзвሹр οլиψեφ նሧբሶфո ዳкоթեтоξሽπ υ иδንτըглазв ιቻыγ а ци ин μарсоሦето թ уգοбавы аξеቱοጠετи друврус. Մሎнէኣеσ хрուврυμዝ. Γуኦιруς իμа ошሄзωбυλ иሜυ оврθβι рси аկαсοглеձε щቨбዤч уղθլигոд ፗιбυγяሎ. Арուглև сиζፊкреδ ዣж лωша ըտуζупсօсէ իхрахусвθ ακኆвոււևкр ጼժ еኣοնиջ ዢኣтулθ. Врխсрիлιл созαδ εдослα уηулለ асυጋэቀярук гևгጺእոνаск εщэկыμаմ ս. lVWqw. Sebiji buncis meronta dan terus melompathingga hampir melampaui bibir kualidi mana ia tengah direbus di atas api.“Kenapa kau lakukan ini padaku?”Dengan sendok kayunya,Sang Juru Masak mementungnya jatuh kembali.“Jangan coba-coba melompat kira aku sedang menyiksamu?Aku memberimu cita rasa!Sehingga kau layak bersanding dengan rempah dan nasiuntuk menjadi gelora kehidupan dalam diri saat-saat kau nikmati regukan air hujan di itu ada untuk saat ini!”Pertama, keindahan. Lalu kenikmatan,kemudian kehidupan baru yang mendidih akan itu, Sang Sahabat akan punya sesuatu yang enak untuk saatnya, buncis akan berkata pada Sang Juru Masak,“Rebuslah aku lagi. Hajar aku dengan sendok adukan,karena aku tak bisa melakukannya seperti gajah yang melamun menerawangtentang taman di Hindustan yang dulu kutinggalkan,dan tidak memperhatikan pawang pengendali arah pemasakku, pawangku, jalanku menuju cita rasa suka caramu membuat masakan.”“Dulu aku pun seperti engkau,masih hijau dari atas tanah. Lalu aku direbus matang dalam waktu,direbus matang dalam jasad. Dua rebusan yang binatang dalam diriku tumbuh dia dengan latihan,lalu aku direbus lagi, dan direbus satu titik aku melampaui itu semua,dan menjadi gurumu.” Puisi al-Imam Jalaluddin Rumi, “Chickpea to Cook,” dalam Barks, Coleman trans. “The Essential Rumi”. Castle Books, 1997. MURSYID Mursyid itu adalah guru ruhani yang mengetahui anatomi ruhani kita dengan jelas, dan menghadapkan kita ke hadirat Allah Swt. Agar kita mengenal Allah dengan sesungguhnya. Perkataan mursyid berasal dari bahasa arab, dari kata irsyada, yaitu memberi tunjuk-ajar. Dalam arti kata lain, mursyid berarti, seseorang yang pakar dalam memberi tunjuk-ajar terutamanya dalam bidang kerohanian, dalam istilah para sufi. Mursyid secara istilahnya menurut kaum sufi, merupakan mereka yang bertanggungjawab memimpin murid dan membimbing perjalanan rohani murid untuk sampai kepada Allah dalam proses tarbiah yang teratur, dalam bentuk tarekat sufiyah. Para mursyid dianggap golongan pewaris Nabi dalam bidang pentarbiah umat dan pemurnian jiwa mereka tazkiyah an-nafs, yang mendapat izin irsyad izin untuk memberi bimbingan kepada manusia dari para mursyid mereka sebelum mereka, yang mana mereka juga mendapat izin irsyad dari mursyid sebelum mereka dan seterusnya, sehinggalah silsilah izin irsyad tersebut sampai kepada Rasulullah tanpa terputus turutannya. Oleh itu pada kebiasaannya, ia daripada keturunan ulamak. Para mursyid bertanggung jawab bagi mengajar dari sudut zahir syariat dan makna batin. Antara ciri seseorang yang digelar mursyid adalah- Mempunyai ilmu agama yang jelas tentang perkara-perkara fardhu 'ain. Dia merupakan seorang yang kamil/sempurna dari sudut muamalah dengan Allah SWT. Mendapat pengiktirafan /pengesahan dari mursyidnya guru yang diiktiraf tidak putus dalam turutan pengajaran. Manhaj tarbiah yang selaras dengan panduan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Mursyid mengajarkan kita bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah sekaligus memberi contoh suri teladan yang indah kepada kita bagaimana berakhlak yang baik dan beribadah yang benar secara lahir dan batin atau secara syari’at dan secara hakikat. Seorang guru mursyid begitu penting keberadaannya dalam sebuah Thariqah. Yang paling utama dengan Guru Mursyid, si murid akan mendapatkan talqin pengajaran/pengijazahan dzikir atau ba’iat yang tidak bisa dilakukan oleh orang biasa. Sangat berbeda dengan ijazah Amalan Ilmu Hikmah, karena talqin itu suatu proses dimana mursyid memasukan nur nubuwah cahaya kenabian ke dalam hati murid. Sekaligus mengajarkan cara berdzikir yang benar dengan metode Thariqah yang sesuai dengan syari’at Islam. Seorang Mursyid yang sejati, yang menerima perintah khusus dari Allah untuk menjadi guru bagi para pejalan sufi, bisa tampil dengan berbagai macam wajah. Ada kalanya ia tampak lembut dan sabar, begitu mudah dipahami. Ada kalanya pula ia tampil dengan galak dan keras, begitu membingungkan dan sulit dipahami. Seorang mursyid akan mendidik murid-muridnya untuk belajar mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwatnya, untuk mengenal segala macam aspek yang ada dalam diri masing-masing, dan untuk memunculkan potensi dirinya yang sesungguhnya. Potensi yang diletakkan Allah dalam qalb masing-masing manusia ketika ia dijadikan. Dalam tahap pembersihan diri ini, hampir semua murid biasanya meronta. Tentu saja, karena hawa nafsu dalam diri kita pasti meronta jika dipisahkan dari hal-hal yang disukainya. Tapi demi memunculkan diri muridnya yang asli, maka mau tak mau, Sang Mursyid harus melakukannya. Sang Mursyid harus memaksa murid-muridnya untuk belajar mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwat Rumi menyebutnya sebagai jiwa binatang’ dalam diri masing-masing. Inilah yang dimaksud Rumi dalam puisinya di atas, bahwa sebenarnya tugas seorang mursyid adalah merebus’ murid-muridnya di atas api, demi memunculkan cita rasanya yang asli dalam diri masing-masing. Pada awalnya, biasanya buncis akan meronta dan bisa jadi, ingin lari. Pada tahap ini, mau tak mau, mursyid kadang perlu mementungnya’ supaya kembali tenggelam dalam rebusan air mendidih. Tapi sekali si murid sudah merasakan manfaat bimbingan Sang Mursyid dalam perkembangan jiwanya, maka ia akan terus-menerus meminta untuk direbus’ kembali. Apakah ini berarti bahwa seorang murid harus memposisikan dirinya di hadapan gurunya seperti mayat yang dibolak-balik oleh pemandinya? Nah, ini juga pemahaman yang perlu dikoreksi. Ada beberapa hal yang biasanya diajukan kepada para pejalan sufi yang ber-Thariqah maupun yang memiliki mursyid, yang belakangan ini sering mengemuka. Berikut dua contoh representatif ketidaktepatan penilaian yang digeneralisir tersebut. Pertama, “Saya bukan pengikut tasawuf formal. Saya tidak pernah bersumpah setia di bawah telapak tangan seorang guru spiritual untuk hanya menaati dia seorang, karena saya tidak menyukainya. Saya pikir, tidak ada pemikiran dan kesadaran sehat yang bisa terbangun jika seseorang telah memutuskan untuk berhenti bertanya, dan bersikap kritis.” Kedua, “…Sekurang-kurangnya ada tiga hal penting yang sering dipersoalkan orang mengenai tarekat ini. Pertama, soal otoritas guru yang mutlak tertutup dan cenderung bisa diwariskan. Kedua, soal bai’at yang menuntut kepatuhan mutlak seorang murid kepada sang guru, seperti mayat di depan pemandinya; dan ketiga, soal keabsahan validitas garis silsilah guru yang diklaim setiap tarekat sampai kepada Nabi Muhammad Saw…Salah satu ciri utama tasawuf positif adalah rasionalitas. Karena itu, tasawuf positif harus menolak segala bentuk kepatuhan buta kepada seorang manusia—yang bertentangan dengan semangat Islam.” Sekilas, kedua penilaian kritis’ atas mursyid dan thariqah tersebut terkesan memperjuangkan keotonoman individu beserta rasionalitasnya, namun sayangnya terlalu terburu-buru melakukan generalisasi. Terlebih, kedua penilaian kritis’ tersebut lebih merefleksikan prasangka semata ketimbang pembuktian melalui pengalaman menggeluti thariqah. Posisi seperti itu tak ubahnya seperti komentator sepakbola dengan pemain sepakbola. Seorang komentator sepakbola sangat mahir dalam menganalisis kesalahan pemain, strategi yang sedang dimainkan, kegemilangan permainan, dan lain sebagainya. Namun yang lebih mengetahui dan merasakan realitasnya, bersusah-payah, pontang-panting, senantiasa waspada terhadap setiap serangan lawan, hingga akhirnya menjadi pemilik sejati pengetahuannya adalah si pemain sepakbola itu sendiri. Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Bila kau merasa cemas dan gelisah akan sesuatu, masuklah ke dalamnya, sebab ketakutan menghadapinya lebih mengganggu daripada sesuatu yang kautakuti itu sendiri.” Namun, di sisi lain, bisa dimaklumi juga bahwa generalisasi bermasalah—karena ketakutan memasuki dunia thariqah secara langsung—seperti terlihat pada kedua penilaian kritis’ di atas, dilandaskan pada perkembangan mutakhir berbagai thariqah klasik. Maka lahirlah penilaian yang digeneralisasi sebagai karakter sejati seluruh tarekat, sehingga luput mengamati prinsip terdasar kemursyidan dan kethariqahan. Deviasi adalah hal yang lazim terjadi dalam perjalanan sejarah kemanusiaan. Bahkan berbagai kitab suci pun sering mengemukakan bagaimana di setiap masa senantiasa terjadi deviasi ajaran agama sepeninggal sang pembawa risalah atau nubuwahnya. Ini tak ubahnya air yang semakin keruh ketika menjauhi sumber mata airnya, sehingga praktis di hilir hanya akan ditemui air kotor yang sudah tercampur sampah. Begitu pula halnya dengan thariqah. Ketika sang muasis/pencetus atau Mursyid-Syaikh sejatinya meninggal, maka hanya kehendak dan izin Allah Taala semata yang bisa menjamin kemurnian dan serta keberlanjutan thariqah tersebut, yaitu, dengan menghadirkan mursyid sejati pengganti. Apabila Allah Taala tidak menghadirkan mursyid sejati pengganti, berarti silsilah mata rantai thariqah tersebut sudah berakhir, bukan ajarannya. Kemursyidan itu adalah misi hidup, dan hanya boleh dipegang oleh mereka yang telah mencapai marifat dan misi hidupnya adalah mursyid. Tidak semua orang yang telah marifat boleh serta merta menjadi mursyid. Wali Quthb pemimpin para wali di suatu zaman seperti Ibn Arabi pun tidak menjadi mursyid thariqah. Oleh karena itu, sebagaimana puisi Rumi tadi, seseorang tidak bisa mengangkat dirinya sendiri menjadi seorang guru spiritual sebelum ia sendiri sudah pernah, dan berhasil, melalui semua ’rebusan’, dan kemudian memperoleh pengetahuan dari Allah ta’ala bahwa misi hidupnya memang sebagai seorang mursyid. Kemursyidan adalah sebuah tugas langsung dari Allah ta’ala misi hidup. Oleh karena itu, jabatan kemursyidan pun tidak dapat diwariskan, sekalipun dengan landasan senioritas, keluasan pengetahuan, atau bahkan garis keturunan. Lantas, bagaimana dengan para salik yang tersisa apabila Allah Taala tidak lagi menghadirkan mursyid sejati pengganti di sebuah thariqah? Tetaplah berpegang teguh pada dua hal paling berharga yang ditinggalkan Rasulullah Muhammad Saw, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Jangan mengada-adakan mekanisme regenerasi mursyid hanya karena ikatan emosional pada thariqah sebagai lembaga, sehingga akhirnya menyerahkan amr urusan kepada orang yang bukan ahlinya. Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda “Allah tidak menarik kembali ilmu dengan jalan mencabutnya dari qalb manusia, tetapi dengan jalan mematikan ulama. Apabila ulama telah punah, maka masyarakat akan mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin yang akan dijadikan tempat bertanya. Orang-orang bodoh ini akan berfatwa tanpa ilmu; mereka itu sesat dan menyesatkan.” Al-Hadits Mursyid sejati adalah pembimbing spiritual para salik thariqah untuk memurnikan dan menyucikan diri, sebagaimana Rasulullah Saw pun adalah mursyid bagi para sahabat utama yang terpanggil untuk menempuh suluk. Mursyid sejati bertugas membantu saliknya mengenal al-haqq secara bertahap sesuai perkembangan nafs-nya, serta mengembalikannya ke penyembahan yang murni kepada Allah Taala. Namun, para salik pun akan dihadapkan pada dilema akan ketidakpercayaan kepada mursyid yang akan menjadi racun dan penyebab kegagalannya dalam bersuluk, tetapi dia pun tidak boleh taklid buta kepada mursyidnya. Kepercayaan tidak bisa dipaksakan. Kepercayaan harus muncul secara alami melalui proses yang alami pula, yang muncul sendirinya dari qalb, sehingga mutlak diperlukan penguatan dengan ilm. Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah muhtadun*. QS YâsÃn [36] 21 Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilm tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan fuad limpahan karunia semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. QS Al-Isrâ’ [17] 36 * Muhtaduun orang yang telah menerima petunjuk Allah atas segala aspek kehidupannya, dan semua tindakannya semata-mata hanya berdasarkan petunjuk Allah ta’ala kepada dirinya. Dalam kedua penilaian kritis’ terhadap thariqah dan mursyid di atas, hubungan antara mursyid dengan saliknya dipermasalahkan secara terlampau disederhanakan, karena dianggap menuntut ketaatan seperti mayat dengan pemandinya. Sikap seperti sangat potensial untuk menghambat terbentuknya individu modern otonom. Padahal, hakikatnya tidak pernah ada manusia yang otonom. Manusia hanya terbagi menjadi dua golongan, yaitu, mereka yang diperbudak oleh Allah Taala atau diperbudak oleh selain Allah Taala syahwat dan hawa nafsu. Benarkah dalam thariqah berlangsung ketaklidan buta tak bersyarat dari seorang salik kepada mursyidnya? Kepatuhan seperti jenazah di hadapan pemandinya? Permasalahannya, bagaimana seorang salik bisa taklid kepada sang Mursyid, sementara perkataan sang Mursyid sendiri ternyata seringkali salah ditafsirkan? Sebagai contoh, dalam sebuah thariqah, ketika seorang mursyid memerintahkan seorang salik untuk bersiaga menghadapi sebuah serangan sebentar lagi, si salik menafsirkan bahwa ia tengah diajari untuk bersiaga terhadap “serangan” lahiriah seperti perkelahian, sementara sang Mursyid sebenarnya tengah mengajari kesiagaan batiniah terhadap “serangan” masalah kehidupan. Bagaimana dengan berbagai pertanyaan dalam kepala kita yang muncul dan berlalu-lalang? Setiap pertanyaan yang muncul di benak manusia itu pasti ada hak jawabannya. Itu tak ubahnya seseorang yang tengah menunggu di ruang tamu. Kemudian dari arah dapur tercium olehnya bau masakan. Bersabarlah, karena tepat pada saatnya makanan tersebut akan dihidangkan ke hadapannya. Tidak semua pertanyaan harus terjawab saat ini juga. Bersabarlah, karena jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul di benak ada hak jawabannya, hanya tinggal masalah waktu saja. Namun, tak jarang manusia begitu arogan sehingga merasa bahwa rasionalitasnya pasti bisa memahami segala hal saat ini juga, dan bisa menghakimi segala perkara dengan bermodalkan ilmu yang kini dimilikinya. Seakan rasionalitas itu tidak punya kelemahan dan batasan. Biasanya terhadap salik tipe fundamentalis rasional seperti ini, mursyid sejati akan menghajar’ habis-habisan keliaran berpikirnya agar bisa fokus demi kebaikan salik itu sendiri. Hal yang paling sulit adalah menjinakan keliaran pikiran untuk fokus kepada perkara fundamental misi hidup yang Allah Taala amanahkan kepada dirinya. Pikiran yang liar memancar kesana-kemari itu seperti lampu pijar 10 watt, hanya cocok dipakai untuk lampu tidur. Namun, apabila cahaya 10 watt tersebut difokuskan menjadi laser, maka besi pun dapat ditembusnya. Munculnya tawaran seperti tasawuf tanpa tarekat maupun tanpa guru saat ini juga berasalan, namun bukan berarti kritiknya terhadap dunia thariqah yang digeneralisir tersebut tepat sasaran. Semangat untuk mengedepankan akal sehat atau rasionalitas dalam mengkaji tashawuf merupakan salah satu hal yang penting. Karena Allah Taala mengaruniakan otak di tubuh manusia, maka cara mensyukurinya adalah memanfaatkannya untuk berpikir maksimal di alam terendah dari seluruh alam ciptaan-Nya, yaitu dunia. Namun, Ad-Diin Agama adalah perkara yang baru akan terpahami apabila seluruh bola akal manusia—otak nalar, fuad bentuk primitif lubb dan lubb akal nafs, orang yang telah memiliki lubb disebut sebagai ulil albab—terbuka keseluruhannya. Sayangnya, sangat sedikit di antara manusia yang telah Allah anugerahkan kemampuan akal paripurna lahir dan batinnya seperti ini. Di atas semuanya, bukanlah otak yang cerdas dan banyaknya bacaan yang dapat menyelamatkan manusia dari berbagai jebakan syahwat dan hawa nafsu dalam beragama, tetapi niat tulus murni mencari Allah Taala. Seorang buta huruf pun bisa Allah rahmati menjadi ulil albâb dan arifin orang yang telah mencapai marifat, seperti Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen, maupun banyak sufi buta huruf lainnya, semata karena adanya niat tulus murni untuk mencari dan berserah diri kepada Allah Taala. Niat itu pulalah yang membuat Allah Taala berkenan menganugrahkan cahaya iman ke dalam qalb. Misalnya, seseorang menyatakan bahwa karena dia memiliki kecenderungan saintifik, maka dia memerlukan penjelasan ilmiah terlebih dahulu sebelum memutuskan bersuluk. Namun, kebanyakan manusia memiliki mentalitas untuk tergesa-gesa menyimpulkan sebelum tuntas menelaah. Kecenderungan sikap saintifik itu baik, terlebih karena setiap manusia itu unik serta memiliki kebutuhan dan jalan masuk berbeda-beda. Ibaratnya, ada seekor kucing pertanyaan yang selalu mengeong dalam rumah pikiran kita, karena lapar meminta makanan jawaban. Apabila kucingpertanyaan tersebut tidak diberi makanan jawaban, maka rumah pikiran kita akan berisik oleh suara mengeongnya. Akibatnya, kita pun tidak bisa belajar dengan tenang. Karena itu, berilah makanan jawaban yang tepat untuk mengenyangkan kucing pertanyaan dalam rumah pikiran kita. Penuhilah haknya, sehingga dia bisa diam dan kita pun bisa belajar dengan tenang. Apabila makanan jawaban belum ditemukan, bersabarlah, saatnya pasti akan tiba. Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab munculnya sikap alergi thariqahadalah ekses dari berbagai praktik yang dilakukan thariqah yang telah kehilangan “ulama”nya baca mata airnya. Misalnya, dahulu kala muncul sebuah thariqah. Lazimnya mereka melakukan riyadhah berkala secara bersama-sama. Kebetulan mursyid thariqah tersebut selalu memelihara kucing yang sering mengeong di malam hari karena lapar. Agar suara mengeong kucing tersebut tidak mengganggu riyadhah, maka sang mursyid memerintahkan muridnya untuk memasukkan kucing tersebut ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya. Hal itu berjalan terus selama bertahun-tahun, hingga sang mursyid meninggal. Sepeninggal sang mursyid, para salik generasi pertama thariqah tersebut tetap memasukkan kucing peliharaan sang mursyid ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya agar tidak mengganggu riyadhah. Namun, para salik generasi kedua dari thariqah tersebut—yang tidak tahu sebab akibat dari perbuatan tersebut—mulai mengira bahwa perbuatan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan sebelum mereka riyadhah. Maka, ketika sampai di salik generasi ketiga, muncullah semacam kewajiban baru, yaitu adanya sebuah keharusan sebelum riyadhah untuk mencari kucing yang kemudian harus dimasukkan ke dalam sebuah ruangan, kemudian memberinya makan dan menguncinya. Ketika sampai di salik generasi keempat, muncullah buku tentang makna batin dan hakikat memasukkan kucing ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya sebelum melakukanriyadhah. Dan, di salik generasi kelima hingga seterusnya, perbuatan tadi sudah menebarkan citra ketidakrasionalan dan ketidaksejalanan thariqah tersebut dengan syariat. Dalam sejarah tashawuf ada juga tipe sufi yang dinamakan sebagai Uwaysiyyah. Nama ini merujuk kepada seorang tokoh sezaman Rasulullah Saw. yang mengetahui ihwal beliau Saw. tetapi tidak pernah bertemu secara langsung sepanjang hidupnya. Demikian pula Rasulullah Saw., mengetahui Uways Al-Qarni tanpa pernah bertemu dengannya. Hal itu disebabkan karena Uways setibanya di Mekkah tidak bisa menunggu untuk bertemu dengan Rasulullah Saw yang ketika itu sedang pergi sebab ia telah berjanji kepada ibunya di kota lain untuk tidak berlama-lama meninggalkannya. Kondisi Uways berbeda dengan Salman Al-Farisi yang Allah Taala bukakan jalan untuk bisa bertemu dengan Rasulullah Saw., meskipun berasal jauh dari Persia, dan harus dua kali pindah agama sebagai proses pencariannya. Salah satu sufi yang tergolong Uwaysiyyah adalah seorang Iran, Abu al-Hasan Kharraqani, yang pernah menyatakan “Aku kagum pada salik-salik yang menyatakan bahwa mereka membutuhkan Mursyid ini dan itu. Kalian tahu bahwa aku tidak pernah diajari manusia manapun. Allah Taala adalah pembimbingku, kendatipun demikian, Aku menaruh respek besar pada semua Mursyid.” Dari pernyataan seorang Uwaysiyyah tersebut bisa terlihat bahwa yang menjadi pokok persoalan bukanlah apakah seorang Mursyid diperlukan ataukah tidak, apakah perlu ikut thariqah atau tidak. Tetapi, apakah kita adalah seorang pencari Allah Taala dan berazam untuk mencari jalan kepada-Nya? Apabila ya, maka biarlah Allah Taala yang mengalirkan dan membukakan jalan hidup kita, entah itu ikut thariqah atau tidak, apakah akan dipertemukan dengan mursyid sejati di zamannya ataukah Allah Taala sendiri yang akan mengajari. Bukan dengan menyatakan terlalu dini bahwa thariqah dan Mursyid itu tidaklah diperlukan. Ketidakberanian mengambil resiko untuk mengarungi lautan thariqah, terlebih terburu-buru melontarkan pernyataan seolah heroik yang mengisyaratkan keengganan mencari mursyid sejati zamannya, atau senantiasa memilih berjarak ala saintis serta mengandalkan kecerdasan otak untuk bertashawuf secara wacana, bisa dipastikan mustahil mencapai tingkatan marifat. Rumi menggambarkan hal itu sebagai berikut Ketika kauletakkan muatan di atas palka kapal, usahamu itu tanpa jaminan,Karena engkau tak tahu apakah engkau bakal tenggelam atau selamat sampai engkau berkata, “Aku takkan berlayar sampai aku yakin akan nasibku,” maka engkau takkan berniaga lantas rahasia kedua nasib ini takkan pernah terungkap. Saudagar yang penakut takkan meraih untung maupun rugi; bahkan sesungguhnya ia merugi orang harus mengambil api agar mendapat cahaya. Karena seluruh kejadian berjalan di atas harapan, maka hanya Imanlah tujuan terbaik harapan, karena dengan Iman memperoleh keselamatan. Amati kisah pencarian Salman Al-Farisi. Sebelum mengenal Tuhannya Muhammad Saw, dia adalah seorang Majusi. Kesadaran yang muncul atas kejanggalan perbuatannya sendiri untuk menjaga agar api yang disembahnya sebagai Tuhan tidak padam, membuat Salman Al-Farisi berani mengambil resiko berpindah ke agama Kristen. Setelah beberapa kali berpindah mengabdi pada beberapa pendeta, dia ditunjuki ihwal keberadaan Nabi akhir zaman. Dan pertemuannya dengan Rasullah Saw, membuat Salman Al-Farisi berani mengambil resiko kedua kalinya untuk berpindah ke agama Islam. Mursyid kammil mukammil mampu mengontrol ribuan bahkan jutaan muridnya, tetapi cara mengontrolnya bukan seorang direktur sedang mengontrol usahanya, atau seorang presiden mengontrol bawahannya. Kontrol di alam ruhani berbeda dengan dengan alam lahiriyah. Tetapi semua itu kesiapan yang dikontrol. Tidak ada jaminan, kontrol mursyid pada muridnya membuat murid langsung sadar 100%. Kalau saja muridnya tetap saja mengikuti hawa nafsunya sendiri, bahkan cenderung kepada ambisi duniawinya ataupun lebih mementingkan alas an nafsu pribadinya. Cahaya ruhani mursyid sulit masuk. Sebagaimana rposulullah saw, dahulu, toh diantara para pengikutnya ada golongan Munafikin, itu berarti hidayah Allah tetap urusan Allah. Para Mursyid tetap mendoakan muridnya, menyampaikan cahaya ruhaninya, tetapi jika mbandel dan keras kepala, para murid tidak akan meraih apa-apa. Apalagi muridnya mulai kontra dengan mursyidnya, malah semakin terlempar dalam kegelapan. Didalam kitab Risalatul Murid, Sayyid Al-Imam Abdullah menjelaskan perihal mencari Syaikh/Mursyid yang kamil sempurna atau Syaikh yang sejati MENCARI SYAIKH YANG SEJATI Ketahuilah sang murid menginginkan dan mencari Syaikh yang sejati untuk menuntut ilmu padanya. Tidak boleh mengambil sembarang orang yang dapat diakui sebagai Syaikh, yang boleh memimpin murid-murid ke jalan Allah Ta'ala, dan menjadi Syaikhnya sehingga ia harus menyelidiki lebih dahulu, dan ia kenal benar-benar keahlian Syaikh tersebut dan hatinya menerima orang itu sebagai Syaikhnya. Demikian sebaliknya seorang Syaikh tidak boleh menerima sembarang murid yang datang padanya minta dituntun ke jalan Allah, sebelum ia menguji kesungguhan si murid untuk menunjukkan keinginannya yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan seorang pemimpin yang akan menunjukkan ke jalan Tuhannya. Syarat-syarat ini harus berlaku bagi murid-murid yang akan menuntut ilmu kepada Syaikh Tahkun Syaikh yang dalam tangannya terserah segala putusan. Murid yang menuntut ilmu pada Syaikh Tahkun ini harus menganggap dirinya seperti mayat yang sedang dibersihkan oleh tangan-tangan yang memandikannya, atau laksana seorang bayi yang berada dalam pemeliharaan ibunya, syarat-syarat serupa ini tidak berlaku pada Syaikh Tabarruh Syaikh yang biasa dimohon keberkatan daripada-nya. Apabila seorang murid bermaksud untuk mendapat­kan keberkatan seorang Syaikh, bukan tahkimnya maka diperbolehkan menemui sebanyak mungkin Syaikh dan menziarahi mereka adalah lebih baik dan utama untuk memperoleh keberkatan itu. Apabila murid belum menda­patkan Syaikh, dengan tekun dan rajin menunjukkan harapan dan keperluannya kepada Allah SWT, dengan kebenaran yang sempurna agar Dia menunjukkan kepada seorang murid pemimpin yang boleh memimpinnya kejalan Allah SWT. Jika ia bersungguh akan keinginannya pasti Allah akan mengabulkan permohonannya. Sebagaimana Allah akan mengabulkan permohonan orang-orang yang terdesak dipaksa oleh keadaan niscaya Allah akan memimpin dan mendorong pada salah seorang diantara hamba-hambaNya. Setengah murid menyangka dirinya tiada mempunyai Syaikh dan sepanjang masa ia berusaha mencari Syaikh padahal Tuhan telah mentakdirkan seorang Syaikh untuknya. Sedang ia tidak pernah melihat Syaikh tersebut. Syaikh tersebut memelihara murid-murid dengan pandangan bathinnya, dan menjaga dengan penuh perhatian sedang si murid tidak merasakan semua sama sekali. Jika murid yang mengatakan tidak ada Syaikh pada jamannya sebenarnya ia keliru. Atau mungkin Syaikh itu tidak benar. Dan pada hakekatnya Syaikh-Syaikh agung memang banyak sekali, maha suci Allah yang telah menunjukkan bukti kepada para Auliya'Nya. Seperti Dia menjadikan bukti untuk mengenal Zatnya dan Dia akan menunjukkan seorang murid pada Auliya'Nya melainkan yang disukai dan menyampaikan kepada Zatnya sendiri. Ketahuilah bahwa Syaikh yang kamil ialah seorang Syaikh yang selalu memberi faedah pada muridnya, dengan penuh kesungguhan dalam perbuatannya dan perkataannya. Dia memelihara muridnya sewaktu berada dihadapannya, dan juga dimasa murid berada jauh daripadanya. Sekiranya sang murid jauh dari tempat Syaikh berada, maka Sang Syaikh akan memelihara muridnya dengan getaran-getaran kalbunya dalam hal apa saja yang dikerjakan si murid maupun yang ditinggalkannya. Adapun perkara yang sangat membahayakan sang Murid, apabila hati si Syaikh berubah, dan tidak memandang padanya. Dalam hal ini bila dikumpulkan seluruh Syaikh-Syaikh yang lain dari timur sampai ke barat, untuk mengubah hati Syaikh kepada muridnya. Niscaya akan sia-sia dan tidak akan berhasil, kecuali sang murid sendiri ha¬rus berusaha untuk mengubah hati Syaikhnya dan minta maaf serta mendapatkan keridhoan-Nya. BAGAIMANA HUKUMNYA MEMILIKI SEORANG GURU MURSYID? Ibadah akan sia-sia dan tidak sempurna, jika tidak diiringi dengan hati yang penuh dengan cahaya-Nya. Cahaya Allah tidak akan bisa ditangkap dengan hati yang kotor yang penuh dengan kedengkian, kesombongan, dendam dan lain–lain. Hal ini tidak ada cara lain kecuali harus mempelajari tasawwuf yang dibimbing langsung oleh Guru Ruhani yang disebut Mursyid. Dijelaskan dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali “Seorang murid membutuhkan seorang mursyid , yang membimbingnya pada jalan yang lurus. Sebab jalan keagamaan kerohanian terkadang begitu samara-samar, dan jalan syetan begitu beraneka. Barang siapa tidak memiliki mursyid yang menjadi panutannya, dia akan dibimbing syetan kea rah jalannya. Hendaklah ia berpegang teguh kepada mursyidnya bagaikan pegangan seorang buta di pinggir sungai, dimana dia sepenuhnya menyerahkan dirinyabkepada pembimbingnya, serta tidak berselisih pendapat dengannya.” Dan seluruh ahli thariqah pun sepakat mewajibkan kepada seluruh manusia harus mencari guru yang memberi petunjuk kepadanya untuk menghilangkan macam –macam sifat yang bisa menjadi penghalang kepadanya dari ma’rifat ke hadrot Allah oleh hatinya. Hal itu dilakukan agar hati menjadi sah dan khusyu, sebab menghadirkan Allah dalam seluruh ibadah. Sedangkan dalam kenyataannya, hati tak akan bisa khusyu kepada Allah tanpa adanya bimbingan. Jadi mencari Mursyid itu hukumnya menjadi wajib. Sebagaimana dalam kaidah ushul fiqih “Maa laa yatimmul waajib illaa bihi fa huwa waajibun.” Artinya “Tidak sempurna kewajiban kecuali dengan suatu perkara dan perkara itu hukumnya menjadi wajib.” Pernah mengatakan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani qs “Maka wajib bagi semua manusia untuk mencari kehidupan hati seperti untuk kehidupan keakhiratan dari ahli talqin dzikir di dunia ini sebelum datangnya maut.“ Syekh Abi Hasan Asy-Syadzili qs mengatakan “Barangsiapa yang tidak ikut masuk thariqah-ku yaitu thariqah shufiyyah thariqah-nya orang-orang ahli tasawwuf maka ketika mati, orang itu membawa dosa besar karena hukumnya fardluain. Oleh karena itu, maka wajib untuk pergi mencari seorang guru Mursyid untuk minta talqin dzikir, dan jika sudah menemukan Mursyid yang telah masyhur dalam mengobati muridnya, namun walaupun orang yang mau belajar itu dilarang oleh orang tuanya maka ia wajib untuk berguru.“ Sebagian orang–orang yang telah ma’rifat mengatakan “Barangsiapa orang yang tidak memiliki bagian ilmu batin ini yaitu thariqah tasawwuf maka aku takut orang itu jika meninggal dalam keadaan su’ul khotimah yaitu akhir yang jelek karena hati yang kotor.“ Dalam kitab Risalatul Qudsiyyah, Syekh Wahab Sya’ telah berkata “Mencari guru thariqah itu wajib bagi tiap-tiap murid walaupun telah menjadi Ulama besar, karena sesungguhnya tiap–tiap orang yang tidak mendapat dzikir dari guru Mursyid yang memberi petunjuk kepadanya untuk mengeluarkan sifat–sifat yang cacat di hatinya. Maka orang itu telah ma’siyat kepada Allah dan Rosulnya, hal itu dikarenakan tidak mendapat petunjuk jalan untuk mengobati penyakit hatinya walaupun dengan memaksa tetap tidak akan membawa manfaat kalau tanpa Mursyid, walaupun orang tersebut telah hafal seribu kitab.” Dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 17, Allah swt berfirman “Barangsiapa yang ditunjuki Allah, niscaya ia mendapat petunjuk dan siapa yang disesatkan-Nya, maka tiadalah engkau menemukan Wali Ursyid”. Carilah Mursyid Kammil Mukammil yaitu manusia yang paripurna ma’rifatnya dan menghantar yang lain untuk ma’rifat kepada-Nya. Guru Mursyid memiliki silsilah yang kuat dan sohih, dimana sanad nya silsilah sampai kepada baginda Nabi Muhammad saw. Seorang mursyid memiliki hak prerogratif untuk mengangkat seorang murid menjadi seorang Guru Mursyid atau wakil mursyid setelah murid tersebut lulus menurut “pandangannya,” Semua perbuatan Guru Mursyid selalu berada dalam cahayaNya dan Allah selalu menuntunnya. Biasanya murid yang akan dicalonkan mursyid atau calon wakil mursyid itu telah berhasil melakukan tarbiyyah khusus. Jadi tidaklah dibenarkan murid mengajarkan talqin atau bai’at untuk menanamkan nur nubuwat cahaya kenabian kepada murid atau jiwa orang lain kecuali telah berhasil tarbiyah pelatihan khusus dan idzin dari mursyidnya. Diterangkan dengan jelas oleh Ulama Taswuf dalam kitab Bayanu Tashdiq “Tidak boleh memberi ijazah atau talqin dzikir atau bai’at kepada murid-murid yang lain kecuali sudah ada tarbiyyah, artinya pelantikan dan diberi izin oleh guru mursyid lebih jelasnya Khirqoh Sufiyah dan surat tanda izin atau piagam.” Dan begitupun para Imam rohimahumullah mengatakan “Sudah jelas dan tidak samar lagi bahwasanya barangsiapa yang mulai berani memberikan ijazah talqin dzikir Thariqah atau tarekat sedangkan dia bukan ahlinya atau tidak ada izin dari mursyidnya, maka orang tersebut lebih banyak merusak dalam Thariqah jalan menuju Allahnya daripada membuat kemashlahatannya dan murid tersebut terputus dari silsilahnya kepada Nabi Muhammad saw juga otomatis telah keluar dari martabatnya murid yang benar apalagi martabat guru ma’rifat.” Sumaber KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA Judul Mursyid Dalam Thoriqoh Ditulis oleh Unknown Rating Blog 5 dari 5 Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini. Mengenang KH. Ahmad Asrori Ustman Al-Ishaqy Sang Mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa NaqsabandiyyahPublished on August 30, 2009 in Artikel Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 silsilahnya Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim ayah KH. Musta’in Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in sekitar tahun 1977, beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya. Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri dalam proses pembangunan serta bangunan masjid yang cukup Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT. Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 meninggal dunia pada hari ini 26 Sya’ban 1430 H./18 Agustus 2009 pukul 0220 WIB, KH. ASRORI BIN UTSMAN AL-ISHAQI, Kedinding SurabayaBeliau adalah mursyid Thoriqoh Qodiriyah & Naqsabandiyyah saat ini, semoga Allah senantiasa mengampuni semua dosanya Bismillahir Rahmanir Rahiim Allah Swt. Berfirman “Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan dalam hidupnya seorang wali yang mursyid” Al Kahfi 17 Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid pembimbing atau guru ruhani merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid. Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi dalam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid. Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang diserap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri. Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah wushul tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif bisikan-bisikan lembut yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”. Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya. Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya. Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati. Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan. Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan “Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.” Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas. Dalam kitab Al-Mafaakhirul Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin Ayyad, ditegaskan, — dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, — bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima 1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas. 2. Memiliki pengetahuan yang benar. 3. Memiliki cita himmah yang luhur. 4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai. 5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi. Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut 1. Bodoh terhadap ajaran agama. 2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam. 3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna. 4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan. 5. Berakhak buruk tanpa peduli dengan perilakunya. Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani 1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan. 2. Mempermainkan thaat kepada Allah. 3. Tamak terhadap sesama makhuk. 4. Kontra terhadap Ahlullah 5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt. Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.” Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”. Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya. Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi. Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima 5 prinsip thariqat itu sendiri 1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin. 2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan. 3. Berpaling dari makhluk berkonsentrasi kepada Allah ketika mereka datang dan pergi. 4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak. 5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka. Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah. Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana. Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah 1 Himmah yang tinggi, 2 Menjaga kehormatan, 3 Bakti yang baik, 4 Melaksanakan prinsip utama; dan 5 Mengagungkan nikmat Allah Swt. Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt. Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah. Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, W. 973 H secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah” SEJARAH Qudusiyah tidak bisa dipisahkan dari kedua mursyid awal thariqah ini. Mereka adalah Bapak Suprapto bin Kadis Darmosuharto atau lebih dikenal dengan "Suprapto Kadis" oleh murid-muridnya, yang merupakan pendiri sekaligus mursyid pertama; dan Bapak Zamzam A. J. Tanuwijaya yang merupakan murid generasi paling awal dan menjadi mursyid penerus. Tugas kemursyidan Bapak Suprapto dimulai pada tahun 1992, yang bertepatan dengan 63 tahun usia beliau. Menurut penuturan Bapak, usia 63 tahun dimulainya tugas kemursyidan ini memiliki makna yang khusus, di mana itulah usia ketika Rasulullah SAW wafat, sehingga apa-apa yang diamanatkan kepada beliau ini merupakan simbol ilmu penerus Nabi. Oleh karenanya, tanggal 15 Juli 1992, yaitu tepat 63 tahun usia beliau dan tiga windu setelah Bapak Suprapto menerima amr ilahiah kemursyidan, ditetapkan sebagai hari lahir thariqah yang pada saat itu belum memiliki nama. Zamzam muda yang sudah mengenal Bapak sejak tahun 1983, diinisiasi sebagai salik pada tahun 1991 saat berusia 25 tahun di kediaman Bapak Suprapto di Cilegon, Banten. Bapak Zamzam pula yang mengusulkan thariqah ini diberi nama "Kadisiyah". Meski demikian Bapak Suprapto menuturkan, bahwa kata "Kadis" dalam bahasa Jawa semakna dengan "Qudus" dalam lisan Arab. Perkembangan Awal Selama periode 1988 — 1991, Bapak Suprapto diizinkan untuk menginisiasi beberapa salik sebagai persiapan sebelum secara resmi dan terbuka menerima murid. Selain Bapak Zamzam, di antara sedikit muridnya pada masa itu adalah Bapak Akbar Sutisna almarhum, wafat 1997, yang melalui keduanya ajaran thariqah ini mulai tersebar di Bandung dan Jakarta. Di Bandung, atas permintaan Mursyid, sejak 1992 Bapak Zamzam mulai membuka pengajian pengantar tasawuf, yang dinamai Kajian Serambi Suluk dan ditujukan bagi para calon salik pejalan suluk sebelum memasuki kehidupan suluknya di thariqah. Pengajian yang hingga sekarang masih terus berlangsung dan dikenal sebagai "Kajian Serambi Suluk" ini dikemas dalam bentuk perkuliahan mingguan, yang di dalamnya memperkenalkan aspek-aspek tasawuf dan thariqah di dalam Islam yang secara ketat merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Salah satu topik sentral dalam ajaran thariqah yang dibawa oleh Bapak Suprapto adalah mendudukkan tasawuf Islam dalam kerangka dan landasan Al-Qur'an dan Sunnah. Hal ini tercermin dalam prasyarat untuk menjadi salik di thariqah ini, di mana para calon salik dipersyaratkan bagi yang sudah mengerjakan shalat lima waktu dan dapat membaca Al-Qur'an. Selain kedua prasyarat tersebut, seorang calon salik juga diharuskan memiliki pemahaman yang cukup atas persoalan kesulukan. Hal ini dilakukan karena adanya sebuah peringatan di dalam Al-Qur'an وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ‌ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungan jawab. – Al-Israa' [17] 36 Meneruskan Misi Suci Setelah kepindahan Beliau dari Cilegon ke Bandung di tahun 2008, tiga tahun kemudian, yakni tepatnya pada tanggal 13 Agustus 2011, Bapak Suprapto wafat dalam usia 82 tahun. Tongkat kemursyidan pun kemudian diteruskan oleh Bapak Zamzam Tanuwijaya, yang telah menerima amr ilahiah kemursyidan sejak awal-awal masa suluknya di bawah bimbingan Bapak Suprapto. Sejak saat itu, jumlah salik thariqah pun meningkat pesat hingga mencapai 700 orang pada tahun 2018, yang tersebar di berbagai kota di Indonesia, dan sebagian berdomisili di luar negeri. Pada 15 Juli 2018, yaitu tepat 50 tahun setelah Bapak Suprapto bertemu dengan qudrah dirinya, Bapak Zamzam, sebagai Mursyid Penerus Thariqah yang saat itu bernama "Kadisiyah", menetapkan perubahan nama thariqah menjadi "Qudusiyah". Nama "Qudusiyah" ini terkait erat dengan tema sentral pengajaran Bapak Suprapto, yakni untuk memperkenalkan kembali dan menjelaskan konsep Ruhul-Qudus yang termaktub di dalam Al-Qur'an kepada umat lihat Makna Nama dan Lambang. Perubahan nama dari "Kadisiyah" menjadi "Qudusiyah" adalah juga untuk memfokuskan kembali tema sentral thariqah ini dari "Kadis" sebagai persona yakni "Kadis" yang sebenarnya adalah nama ayah dari Mursyid Pendiri Bapak Suprapto kepada "Qudus" atau "ke-Ruhul-Qudus-an" yang menjadi misi utama pewartaan yang disandang oleh thariqah ini. قُلْ نَزَّلَهُ رُ‌وحُ الْقُدُسِ مِن رَّ‌بِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَ‌ىٰ لِلْمُسْلِمِينَ Katakanlah, "Ruhul Qudus menurunkannya dari Tuhanmu dengan kebenaran, untuk meneguhkan hati orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri kepada Allah." – An-Nahl [16] 102 Keterangan Foto Masjid Agung Demak di akhir abad ke-19 di awal tulisan ini berlisensi Creative Common CC BY-SA dan merupakan milik Tropen Museum, Belanda. Sumber foto terdapat di tautan ini.

mursyid thoriqoh yang masih hidup